
Jakarta — Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana, sebagai tindak lanjut diberlakukannya KUHP dan KUHAP baru.
Peneliti ICJR, Ajeng Gandini Kamilah, menekankan perlunya harmonisasi aturan pidana di berbagai undang-undang serta Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya, banyak perda masih mengatur ketentuan yang sebenarnya sudah diakomodasi dalam KUHP.
ICJR telah memetakan sejumlah perda yang mengandung aturan terkait privasi seksual, seperti zina dan kohabitasi. Dari hasil kajian, ditemukan 25 perda yang mengatur zina, 13 perda terkait kohabitasi, dan 356 perda lain yang berkaitan dengan privasi seksual.
“Padahal seluruh ketentuan itu sudah diatur dalam KUHP 2023. Harapannya, perda ke depan tidak lagi memuat pengaturan serupa,” ujar Ajeng dalam RDPU di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (26/11).
140 Undang-Undang Perlu Penyesuaian
ICJR juga memetakan sekitar 140 undang-undang yang memerlukan penyesuaian karena berkaitan dengan 61 pasal di KUHP. Ada empat kategori penyesuaian yang menjadi perhatian, yakni perbaikan typo, inkonsistensi pasal, penghapusan minimum khusus, serta revisi substansi.
“Kesalahan penulisan ada sekitar 29 pasal dan sudah mulai diadopsi dalam RUU Penyesuaian Pidana yang diserahkan Senin lalu,” kata Ajeng.
Ia menambahkan, sejumlah rujukan pasal juga ditemukan keliru sehingga perlu diperbaiki.
Ajeng turut menyoroti keberadaan ketentuan minimum khusus pada undang-undang yang sebenarnya telah dicabut oleh KUHP, seperti UU LPSK. ICJR mendorong agar minimum khusus hanya diterapkan untuk tindak pidana tertentu, kecuali narkotika.
Dua undang-undang dinilai paling terdampak oleh RUU ini, yakni UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan UU Pemerintahan Daerah (Pemda). ICJR menyarankan agar pemerintah daerah tidak lagi mencantumkan sanksi pidana yang sudah diatur dalam KUHP.
“RUU Penyesuaian perlu menjadi pedoman bagi pemerintah daerah. Kemendagri juga harus memastikan DPRD tidak menetapkan ketentuan pidana yang substansinya telah diatur dalam KUHP,” tegasnya.
ICJR juga mendorong penghapusan pidana kurungan dalam perda dan menggantinya dengan pidana denda maksimal kategori tiga.
Catatan Substansi KUHP: Korporasi, Restitusi, hingga Pidana Mati
Meskipun sebagian masukannya telah diakomodasi, ICJR tetap memberikan sejumlah catatan kritis atas substansi KUHP. Ajeng mengusulkan penghapusan ayat terkait pertanggungjawaban korporasi dan menyoroti potensi benturan pidana tambahan berupa ganti rugi dengan mekanisme restitusi.
Ia menjelaskan, pemberian pidana tambahan tidak dimungkinkan untuk terpidana hukuman maksimum seperti seumur hidup atau mati, sehingga mekanisme restitusi harus ditempatkan sebagai perlindungan korban, bukan bagian dari rezim pemidanaan.
Revisi Pasal Pidana Mati
ICJR juga mengusulkan revisi terhadap aturan pidana mati, di antaranya:
-
Pasal 69 ayat 1: masa perubahan pidana dari 10 tahun menjadi 5 tahun, sesuai Keppres 174/1999.
-
Pasal 100: menolak keterlibatan Mahkamah Agung dalam penilaian masa percobaan pidana mati karena dianggap mirip dengan mekanisme grasi. ICJR menilai penilaian cukup dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan berdasarkan evaluasi pembinaan narapidana.
Penegasan HAM Berat dan Pasal-Pasal Krusial Lain
ICJR menyoroti Pasal 599a mengenai tindak pidana HAM berat yang dinilai perlu ditegaskan berlaku surut, sebagaimana prinsip dalam UU Pengadilan HAM.
Selain itu, ICJR meminta penghapusan Pasal 264 tentang berita bohong karena substansinya dianggap sama dengan ketentuan dalam UU 1/1946 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Substansinya identik dengan aturan yang sudah dibatalkan MK, sehingga seharusnya dihapus,” tegas Ajeng.