
Jakarta — Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang sebelumnya dikenal sebagai BI-Checking, merupakan instrumen utama bagi perbankan dan lembaga keuangan dalam menilai kelayakan debitur sebelum memberikan pinjaman. Pengamat Pasar Modal dan Keuangan, Hans Kwee, menilai usulan penghapusan SLIK akan menimbulkan risiko besar bagi stabilitas sektor keuangan.
SLIK mencatat rekam jejak kredit setiap calon debitur dan membantu bank memprediksi potensi risiko kredit bermasalah. Hans menegaskan bahwa sistem tersebut menjadi pedoman penting bagi bank saat menyalurkan kredit.
Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait mengusulkan penghapusan SLIK karena menilai banyak masyarakat tidak lolos persyaratan KPR subsidi akibat catatan tunggakan pinjaman online yang tercantum di sistem tersebut.
“Usulan ini kurang tepat. SLIK adalah track record kredit seseorang. Ini menjadi acuan utama bank dalam menyalurkan kredit. Kalau seseorang pernah memiliki masalah kredit, bank berkewajiban berhati-hati,” ujar Hans dalam keterangannya, Kamis (11/12).
Tanpa SLIK, Risiko Kredit Macet Meningkat
Hans menilai, menghapus SLIK sama saja dengan menghilangkan “alat navigasi” perbankan. Tanpa data riwayat kredit, bank akan kesulitan menilai kemampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya.
“Kalau SLIK dihapus dan orang-orang tersebut tetap diberi kredit, potensi macetnya sangat tinggi. Padahal perbankan mengelola dana masyarakat yang juga memiliki biaya,” tegasnya.
Menurut Hans, jika kredit diberikan kepada pihak yang belum layak, maka masalah debitur hanya akan dipindahkan ke pundak bank. Hal ini dapat berdampak luas dan mengancam kesehatan industri perbankan.
“Jika perbankan terganggu, implikasinya bisa sangat luas dan dapat memicu krisis ekonomi nasional,” tambahnya.
Belajar dari Krisis Subprime Mortgage AS 2008

Hans menyinggung krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008 sebagai contoh nyata dampak penyaluran kredit tanpa seleksi ketat. Saat itu, kredit perumahan diberikan kepada nasabah yang tidak layak, sehingga terjadi gelombang gagal bayar dan mengguncang perekonomian global.
“Waktu itu banyak yang no income, no job, tetapi memiliki properti dengan bunga tinggi. Akhirnya kredit macet meledak pada 2009 dan memicu krisis global,” jelasnya.
Alternatif Solusi: Hunian Sewa Bersubsidi
Mengakui kebutuhan hunian sebagai kebutuhan dasar masyarakat, Hans menilai tidak semua warga yang membutuhkan rumah otomatis layak menerima fasilitas kredit. Untuk itu, ia mengusulkan solusi alternatif yang lebih aman bagi stabilitas keuangan.
Hans mendorong pemerintah menyediakan hunian sewa bersubsidi—baik rumah, rusun, maupun apartemen—dengan harga terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ia juga mengusulkan agar hunian tersebut diberikan berdasarkan radius tempat bekerja, sehingga warga dapat mengurangi biaya hidup dan mempersingkat waktu perjalanan.
“Dengan tinggal dekat tempat kerja, biaya hidup menjadi lebih rendah dan waktu lebih efisien. Mungkin mekanisme seperti itu bisa dipikirkan,” tutupnya.