Adu Data Subsidi LPG 3 Kg: Menkeu Purbaya vs Menteri ESDM Bahlil, Siapa yang Benar?

Adu Data Subsidi LPG 3 Kg: Menkeu Purbaya vs Menteri ESDM Bahlil, Siapa yang Benar?

Jakarta – Polemik antarmenteri mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saling menanggapi soal data subsidi LPG 3 kilogram. Perbedaan data membuat publik bertanya-tanya: siapa yang paling akurat?

Polemik ini bermula dari pernyataan Menkeu Purbaya dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada 30 September 2025. Dalam kesempatan itu, Purbaya membeberkan besarnya selisih harga keekonomian sejumlah barang bersubsidi yang ditanggung pemerintah. Ia mencontohkan LPG 3 kilogram yang memiliki harga keekonomian Rp42.750 per tabung, sementara masyarakat hanya membayar Rp12.750. Dengan demikian, pemerintah menanggung sekitar Rp30.000 per tabung.

“Untuk LPG 3 kg, subsidi mencapai 70 persen dari harga keekonomian. Pola serupa terjadi pada listrik, solar, dan minyak tanah,” ujar Purbaya.
Ia juga menambahkan bahwa realisasi subsidi tahun 2024 mencapai Rp80,2 triliun dengan 41,5 juta pelanggan penerima manfaat.

Bahlil: Menkeu Salah Baca Data

Pernyataan tersebut langsung mendapat respons dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Ia menilai data yang disampaikan Purbaya tidak sepenuhnya tepat.

“Itu mungkin Menkeu-nya salah baca data. Ya mungkin beliau butuh penyesuaian, belum dikasih masukan dengan lengkap oleh timnya,” kata Bahlil di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan, Kamis (2/10).

Menurut Bahlil, data subsidi energi, khususnya LPG, masih dalam proses penyempurnaan dan melibatkan kerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
“BPS itu kan kerja sama dengan tim di ESDM. Jadi mungkin Pak Menterinya belum baca data yang terbaru,” jelasnya.

Bahlil memastikan bahwa pelaksanaan subsidi LPG masih terus berjalan sesuai aturan. Ia menyebut nilai subsidi tersebut berada di kisaran Rp80–87 triliun per tahun dan diawasi langsung oleh BPH Migas.

Purbaya: Mungkin Cara Lihat Datanya yang Beda

Tak tinggal diam, sehari kemudian Purbaya menanggapi pernyataan Bahlil. Menurutnya, perbedaan data bisa saja muncul karena perbedaan metode penghitungan.

“Salah data? Mungkin cara ngeliat datanya beda. Kadang-kadang cara hitung akuntan bisa berbeda. Tapi pada akhirnya, besarannya ya harusnya sama,” kata Purbaya saat kunjungan kerja di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10).

Ia bahkan menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau salah hitung bisa nambah duit, ya saya salah hitung terus biar uang nambah. Tapi harusnya sama pada akhirnya.”

Tinggalkan Balasan